Kabar penangkapan warga dan advokat LBH Yogyakarta dalam aksi penolakan tambang batu andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah menuai kecaman luas. Berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan masyarakat pemerhati lingkungan, mengutuk tindakan tersebut (23/4).
WALHI Yogyakarta, dalam keterangannya, menjelaskan tiga alasan mengapa warga Desa Wadas menolak penambangan tersebut.
- Warga tidak bersedia menjual tanah yang merupakan sumber mata pencaharian utama mereka. Upaya perampasan lahan akan menghilangkan mata pencaharian ribuan warga yang selama ini menggantungkan hidup dari pertanian tumpang sari, seperti menanam buah-buahan, rempah-rempah, palawija, tanaman keras, kopi, kelapa, karet, dan aren. Kegiatan pertanian ini telah meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian desa Wadas.
- Warga menolak hidup di lingkungan yang rusak akibat kegiatan tambang. Desa Wadas tidak layak huni karena tidak memiliki mata air dan tanaman yang dapat tumbuh.
- Proses penambangan cacat prosedural sejak awal dan tidak melalui proses sosialisasi dan kajian lingkungan.
Ketua LBH Yogyakarta, Yogi, mengungkapkan bahwa sudah banyak upaya yang dilakukan baik secara formal maupun kultural. Beberapa di antaranya adalah:
- Mengirim surat permohonan audiensi ke Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) sebanyak dua kali, namun tanggapan yang diterima kurang memuaskan dan cenderung normatif.
- Melakukan audiensi dengan Gubernur dan menanyakan apakah BBWSSO telah menyampaikan keberatan warga kepada Gubernur. Namun, pada saat itu, Sekretaris Daerah (Sekda) mengaku tidak mengetahui hal tersebut.
- Mengirim surat keberatan kepada Obligasi Negara Ritel (ORI) terkait dugaan mala administrasi dalam penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh Gubernur Jawa Tengah. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 509/41/2018 menetapkan Desa Wadas sebagai area penambangan batu andesit untuk proyek pembangunan Bendungan Bener yang direncanakan beroperasi pada tahun 2023.
- Melakukan beberapa kali audiensi dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, termasuk audiensi dengan Kapolres Purworejo terkait tuduhan intimidasi warga.
- Selain itu, warga juga melakukan kegiatan bermunajah yang merupakan upaya kultural berdasarkan kearifan lokal yang telah dibangun sebelumnya.
Julian, selaku advokat LBH, mengemukakan bahwa permasalahan mengenai ganti rugi terjadi di tapak bendungan, bukan di Desa Wadas. “Desa Wadas hanyalah wilayah pertambangan batuan andesit untuk memenuhi kebutuhan di bendungan Bener. Secara logika ini tidak masuk akal, masa pertambangan jadi kepentingan umum,” tegasnya dalam jumpa pers pada tanggal 24 April.
Desa Wadas tetap konsisten menolak ganti rugi tersebut karena warga merasa bahwa sumber daya alam mereka sudah memenuhi kebutuhan mereka. Hingga saat ini (24 April), sudah ada ratusan surat kuasa yang diberikan kepada LBH Yogyakarta untuk memperjuangkan hak atas sumber daya alam daripada kompensasi kerugian.
Dalam laporan dari tempo.co, aktivitas penambangan tersebut mengancam hilangnya sekitar 145 hektar lahan, meningkatkan risiko bencana longsor, dan mengakibatkan kehilangan sekitar 27 mata air di Desa Wadas. Hal ini berpotensi membuat warga kehilangan mata pencaharian mereka, terutama dalam sektor pertanian, kebun, dan peternakan. Selain itu, budaya dan ikatan sosial yang telah dijaga secara turun-temurun juga terancam tergerus.
Kronologi Penangkapan Advokat LBH Yogyakarta di Desa Wadas
Dalam jumpa pers daring pada Sabtu (24 April), Julian, salah satu korban penangkapan, menjelaskan kronologi peristiwa tersebut.
- Pukul 05.00 (23 April), Julian terbangun karena terdengar suara teriakan histeris dari ibu-ibu karena ada pemasangan tenda untuk sosialisasi. Ibu-ibu berkumpul di balai desa dari pukul 05.00 sampai 08.00. Julian mengatakan bahwa saat itu ia hanya mengenakan sarung dan kaos secara sederhana.
- Pukul 08.00, Julian naik ke atas setelah mendengar kehadiran mobil polisi dan TNI dengan beberapa truk yang berisi aparat keamanan. Setelah mendengar kabar tersebut, Julian dan tim LBH Yogyakarta pergi ke perbatasan.
- Sekitar pukul 10.00, Julian dan tim melakukan briefing dan diskusi yang menginstruksikan untuk tidak melakukan tindakan anarkis dan menjalankan aksi damai dengan duduk sambil berdoa dan berzikir.
- Pada saat itu, Kapolres beserta anggota datang dan menyampaikan bahwa sosialisasi dibatalkan dan mereka hanya ingin melewati area tersebut. Julian mengatakan bahwa dari saat itu situasinya sudah tidak kondusif. Beberapa ibu-ibu juga sempat diinjak oleh polisi.
- Julian mencoba bernegosiasi dengan aparat keamanan dengan syarat duduk tanpa membawa alat pukul atau tameng agar negosiasi dapat didengarkan. Setelah Julian mengemukakan hal tersebut, aparat keamanan menyetujuinya. Namun, ketika dilihat, aparat tidak duduk sesuai kesepakatan, dan negosiasi pertama tersebut gagal.
- Terdapat beberapa kejadian, seperti rekan mereka yang bernama Nana, seorang anggota tim Advokat LBH Yogyakarta, ditarik-tarik oleh aparat, dan sejak saat itu keadaan semakin tidak kondusif.
- Julian mencoba untuk bernegosiasi kembali, namun setelah mengemukakan maksudnya, Julian ditarik oleh leher, dipukul, dijambak, dan langsung dimasukkan ke dalam mobil.
- Setelah ditangkap, Julian dan rekan-rekannya diarak mengelilingi desa. Ketika tiba di kantor polisi setempat, mereka diminta untuk memberikan keterangan, tetapi Julian menolak untuk memberikan keterangan tersebut karena menunggu kedatangan rekan-rekan advokat LBH lainnya.
- Julian dan lainnya kemudian dipindahkan dari kantor polisi ke kantor polres.
- Sekitar pukul 18.00, Julian akhirnya bisa bertemu dengan advokat LBH Yogyakarta dan menjalani proses klarifikasi.
- Setelah klarifikasi, Julian dan rekan-rekannya diminta untuk melakukan tes urine. Namun, Julian menolak untuk melakukannya kecuali jika dirinya juga diperiksa secara medis. Akhirnya, Julian sendiri yang tidak menjalani tes urine tersebut.
Indikasi Tindak Pidana
Dalam laporan yang diperoleh dari LBH Yogyakarta, terdapat 12 warga yang ditangkap dalam aksi penolakan tambang batu andesit, termasuk dua advokat dari LBH Yogyakarta, serta sembilan warga yang mengalami luka-luka.
Pada jumpa pers daring pada Sabtu (24/4), Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran hukum pidana yang serius oleh aparat keamanan yang terlibat dalam aksi penolakan tambang batu andesit di Desa Wadas.
Terdapat beberapa tindak pidana yang diindikasikan oleh YLBHI, yaitu:
- Penggunaan kekerasan terhadap warga dan advokat.
- Kriminalisasi terhadap advokat, yang melanggar peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2016 tentang Bantuan Hukum. Pasal 11 UU tersebut menyatakan bahwa “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan itikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.”
- Penyalahgunaan wewenang penyidikan secara sewenang-wenang. Asfinawati menjelaskan bahwa untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup menurut putusan Mahkamah Konstitusi. Namun, pertanyaannya adalah, di mana alat bukti yang cukup tersebut? Tidak ada alat bukti yang cukup karena tidak ada tindak pidana, karena mereka bertindak berdasarkan surat kuasa.
- Upaya menghalangi bantuan hukum.
Langkah yang Diambil YLBHI
Langkah selanjutnya yang akan dilakukan YLBHI menyusul insiden kekerasan adalah sebagai berikut:
- Meminta kepada pihak kepolisian untuk segera mengambil tindakan terhadap anggota yang terindikasi melakukan tindak pidana kekerasan.
- Menekankan pentingnya penerapan hukuman disiplin segera bagi anggota yang terlibat.
- Memonitor apakah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Presiden menjalankan kewajiban mereka dalam menindak pelaku tindak pidana yang melibatkan anggota Polri dan menyerang warga serta Penegak Bantuan Hukum (PBH) LBH Yogyakarta. “Apabila tidak ada tindakan yang memadai, kami sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan terhadap Polri dan Presiden,” tambah Asfinawati, perwakilan YLBHI.
- Melaporkan peristiwa ini kepada mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai negara yang memiliki kewajiban terhadap kovenan hak sipil politik, kovenan hak anti-penyiksaan, dan lain-lain, YLBHI akan melaporkan tindakan kekerasan yang terus berulang ini.
Reporter: Syarifah
Riset Data: Felia, Aziz
Editor: Sri Rahmayanti