Berita

RAWAT KAMDA BUKAN RAWAT RANDA: Simbol Perjuangan yang Ternoda

Pernah jadi semangat kesetaraan, kini dicederai plesetan sinis. Ini suara mahasiswa Kampus Daerah yang selama ini bertahan dalam keterbatasan.

Bandung, Perslima.com — Sebuah coretan pada banner bekas bertuliskan “RAWAT RANDA” memicu gelombang keresahan di kalangan mahasiswa UPI Kampus Daerah (Kamda). Coretan tersebut ditemukan pada Minggu malam (13/07) di kawasan UPI Bumi Siliwangi, bertepatan dengan momentum kampanye yang sedang berlangsung menjelang Debat Publik Capres dan Cawapres BEM REMA UPI siang ini (14/07).

Diketahui, dua mahasiswa dari salah satu fakultas di Kampus Pusat telah mengakui perbuatannya dan memberikan klarifikasi bahwa tulisan “RAWAT RANDA” adalah bagian dari gurauan, dicoret menggunakan pilok di balik banner bekas. Namun, gurauan ini justru dianggap mencederai semangat “Rawat Kamda”, sebuah gerakan yang selama ini menjadi simbol perjuangan mahasiswa Kamda untuk mendapatkan kesetaraan akses, fasilitas, dan pengakuan yang adil di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia.

Viral: 500+ Repost dari Mahasiswa Kamda

Respon keras pun muncul dari berbagai penjuru Kamda—mulai dari UPI Serang, Cibiru, Sumedang, Purwakarta, hingga Tasikmalaya. Unggahan “Add Yours” yang diinisiasi oleh Toriq Surya Pawitra, Wakil Ketua BEM UPI Serang, langsung mendapat perhatian luas. Hingga siang ini, Senin (14/07), sudah lebih dari 530 repost yang berisi suara solidaritas untuk Kamda dari mahasiswa dan alumni lintas daerah.

Tangkapan layar Repost AddYours IG Suara dari Mahasiswa Kamda (Sumber: instagram.com/ad1prama)

Unggahan-unggahan tersebut membawa satu nada: Kamda bukan pelengkap. Kamda adalah bagian utuh dari UPI yang layak dihargai dan diperjuangkan.


Frasa yang Melecehkan Simbol

Dalam bahasa Sunda, “rawat randa” secara harfiah berarti “merawat janda”. Meskipun bisa dianggap candaan, frasa ini membawa nuansa sinis dan merendahkan, terutama bila dikaitkan dengan konteks perjuangan simbolik “Rawat Kamda”. Dianggap sebagai pelesetan yang tidak sensitif, tulisan tersebut dinilai melecehkan semangat mahasiswa Kamda yang selama ini bertahan dalam keterbatasan fasilitas dan pengabaian struktural.

“Ketika mereka mulai melecehkan semangat, kami sadar bukan semangatnya yang mereka lawan, tapi kenyataan yang tak sanggup mereka ubah,” tulis salah satu unggahan solidaritas yang viral di Instagram.


Bukan Geografis, Tapi Gerakan

Gerakan “Rawat Kamda” bukan sekadar slogan. Namun lahir dari realita ketimpangan yang dirasakan oleh ribuan mahasiswa di luar Kampus Bumi Siliwangi. Bagi mereka, Kamda bukan hanya soal letak geografis, tetapi juga identitas perjuangan, tentang bagaimana bertahan di tengah kondisi sarana yang minim, akses informasi yang terbatas, serta jarak yang sering kali membuat mereka tertinggal dalam berbagai keputusan institusional.

Rawat Kamda adalah bentuk perlawanan terhadap invisibilitas, keadaan di mana mahasiswa Kamda merasa tak terlihat dalam narasi besar universitas. Dalam forum-forum resmi, suara mereka sering tenggelam. Dalam distribusi fasilitas, mereka sering kali menjadi yang terakhir. Dan dalam percakapan antar-mahasiswa, tak jarang Kamda hanya dijadikan bahan candaan atau stereotip.

Dalam konteks ini, kemunculan tulisan “RAWAT RANDA” dianggap bukan hanya tidak sensitif, tetapi juga menyakitkan. Frasa tersebut membangkitkan luka lama bahwa mahasiswa Kamda masih sering diposisikan sebagai kelas dua dalam keluarga besar UPI. Ketika perjuangan kolektif untuk pengakuan diselewengkan menjadi lelucon, rasa hormat pun ikut dilukai.

Padahal, perjuangan menuju kesetaraan bukanlah tentang siapa yang lebih besar, lebih layak, atau lebih kuat. Ini adalah tentang memperjuangkan prinsip keadilan bahwa semua entitas di bawah naungan UPI, baik pusat maupun daerah, layak mendapat perlakuan setara dan kesempatan berkembang yang adil. UPI yang benar-benar inklusif tidak akan hadir dari hierarki, tetapi dari solidaritas.


Suara Mahasiswi Kamda

Seorang mahasiswi dari salah satu Kamda yang pernah mewakili UPI di ajang nasional bergengsi dengan nada kecewa menyampaikan:

“Kenapa ya Kamda tuh kesannya diremehkan banget? Padahal waktu aku jadi peserta lomba nasional, aku ngenalin Kamda ke semua peserta. Ternyata di internal UPI malah begini.”

Pernyataan mahasiswi Kamda yang pernah membawa nama UPI di tingkat nasional mencerminkan lebih dari sekadar kekecewaan pribadi. Itu adalah cermin dari pengalaman kolektif mahasiswa Kamda yang selama ini bekerja keras membuktikan diri, bukan hanya sebagai mahasiswa daerah, tetapi sebagai representasi penuh dari institusi pendidikan yang mereka cintai.

Di luar kampus, beliau memperkenalkan UPI dengan penuh rasa bangga, entah itu dari berjejaring, berprestasi, bahkan berdiri sejajar dengan peserta dari universitas besar lainnya. Beliau tak pernah menyembunyikan identitas “Kamda”; justru menegaskan bahwa Kamda adalah bagian sah dari UPI. Ironisnya, ketika kembali ke lingkungan internal, beliau justru harus berhadapan dengan realitas bahwa status Kamda masih dipandang sebelah mata.

Rasa bangga yang beliau bawa dari luar seringkali tak bersambut di dalam. Alih-alih mendapat dukungan, tetapi justru menerima tatapan sinis, komentar merendahkan, atau bahkan ketidakhadiran kebijakan yang berpihak. Ini bukan hanya soal ego institusional, tetapi soal keadilan yang belum tuntas. Dan selama itu belum terwujud, suara Kamda akan terus menggema, bukan sebagai perlawanan, tetapi sebagai pengingat bahwa Kamda juga UPI.


Opini Redaksi

Insiden pada 13 Juli 2025 malam menunjukkan bahwa ketimpangan antara Kamda dan Bumsil masih menjadi luka terbuka yang belum tertangani dengan serius. “Rawat Randa” bukan hanya candaan, tetapi simbol dari ketidakpekaan terhadap perjuangan yang nyata.

Redaksi menegaskan bahwa Kamda bukan anak tiri, bukan pelengkap. Kamda adalah entitas akademik yang sah dan memiliki hak yang sama untuk diakui dan difasilitasi. Gerakan “Rawat Kamda” bukan bentuk perlawanan terhadap pusat, melainkan tuntutan untuk keadilan struktural.

Kesetaraan bukan berarti harus sama, tapi harus adil. Dan “Kamda ≠ Kandang Domba” bukan provokasi, melainkan pernyataan yang menuntut pengakuan.

Satu suara: Kamda juga UPI.